Friday, 14 October 2016

Kondisi Sosial Bangsa Arab Sebelum Kelahiran Nabi Muhammad SAW



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
       Lazimnya pembahasan tentang sejarah peradaban sejarah dan kebudayaan islam oleh ahli-ahli sejarah barat maupun timur diawali dengan uraian tentang sejarah bangsa arab sebelum Islam. Hal ini memang terasa relevan, mengingat negeri dan bangsa arab adalah yang pertama kali mengenal dan menerima islam. Suatu fakta bahwa agama islam diturunkan di jazirah arab; karena itu sudah tentu bangsa arablah yang pertama kali mendengar dan menghayati dan mengenal islam.
Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazirah Arab, disebut masa jahiliyyah. Julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada umumnya hidup berkabilah. Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut, mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memusnahkan kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam di tengah-tengah mereka.[1]
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Makkah misalnya pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf  internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.
Rentetan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal yang penting untuk dikaji karena tidak ada satu pun peristiwa di dunia yang terlepas dari peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lain terdapat hubungan yang erat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa asal usul bangsa Arab?
2. Apa sistem kekerabatan bangsa Arab?
3. Bagaimana kondisi sosial dan budaya Arab?
4. Bagaimana kondisi ekonomi bangsa Arab?
5. Bagaimana kondisi politik bangsa Arab?
6. Bagaimana sistem kepercayaan yang dianut bangsa arab pra-islam?

C. TUJUAN PENULISAN
     1. Mengetahui asal usul bangsa Arab.
     2. Mengetahui sistem Kekerabatan bangsa Arab.
     3. Mengkaji kondisi social dan budaya Arab.
     4. Mengkaji kondisi ekonomi bangsa Arab.
     5. Mengkaji kondisi politik bangsa Arab.
     6. Mengkaji sistem kepercayaan yang dianut bangsa Arab pra-islam.

D. BATASAN MASALAH
     Makalah ini mengkaji asal usul, system kekerabatan, kondisi social dan budaya, kondisi ekonomi, kondisi politik, dan system kepercayaan bangsa Arab pra- islam.














BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal Usul Bangsa Arab
Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah. Mereka termasuk ras atau rumpun bangsa kaukasoid, sebagaimana ras-ras yang mendiami daerah Mediteranian, Nordic, Alpine dan Indic.[2]
Secara Etimologis kata Arab berasal dari kata ‘Araba artinya yang berani bergoyang atau mudah berguncang. Bangsa Arab maupun Israel termasuk dalam rumpun bangsa Semit atau Samyah. Nabi Ibrahim dianggap sebagai cikal bakal dari rumpun bangsa itu yang diduga berasal dari Babilonia. Secara fisik bangsa Arab tidak menunjukkan bentuk yang tunggal, karena terdapat variasi yang berkatan dengan lokasi. Di Arab Utara fisik mereka mirip dengan orang Eropa, yang memiliki rambut agak kemerah-merahan, agak bergelombang, dan warna kulit agak cerah. Di Arab Tengah fisik mereka agak tambun, warna kulit cerah, rambut bergelombang denga warna hitam. Sedangkan Arab Selatan memilki bentuk hidung mancung dan melengkung, bagai patuk burung elang. Bentuk pipi menonjol, mata tajam agak terlindung tulang dahi. Rambut hitam dan bergelombang dengan warna kulit agak kelam. Perkembangan bangsa Arab terbagi kepada dua kelompok besar, yaitu:[3] 
1.    Arab Ba'idah, yaitu kelompok yang telah punah sejarah mereka telah terhenti bersama dengan punahnya mereka dipermukaan bumi, seperti bangsa Ad dan Tsamud.
2.    Arab Musta'rabah (Arab Campuran), yaitu keturunan suku Ad-nan yang umumnya mereka tinggal di hijaz. Mereka adalah keturunan nabi Ismail as.
B. Sistem Kekerabatan Arab
Sistem kekerabatan masyarakat Arab mengikuti garis bapak (patrilinial) dalam memperhitungkan keturunan, sehingga setiap nama anak dibelakangnya selalu disebutkan nama bapak. Bahkan secara beruntun nama bapak-bapak mereka dicantumkan  dibelakang nama mereka dan dikaitkan dengan status dalam keluarga , yaitu bin yang berasal dari kata ibnu yang berarti anak laki-laki. Bagi anak perempuan  tentu saja disebut binti, yang berarti anak perempuan. Orang-orang Arab sangat bangga dengan rentetan nama-nama dibelakang  nama mereka. Dalam sebuah kabilah atau suku bangsa mereka terikat oleh bapak moyang mereka yang sangat dihormati. Sekelompok orang yang berada dalam satu garis keturunan dengan moyang yang sama biasa disebut sebagai satu keluarga besar dengan sebutan Bani (anak keturunan), keluarga atau dinasti tertentu. Dalam seorang patriar atau seorang bapak utama atau perimus interpares, dengan julukan syekh.

C. Kondisi Sosial dan Budaya Arab
Bangsa Arab hidup berpindah-pindah (nomaden). Demikian ini karena kondisi tanah tempat mereka hidup terdiri dari gurun pasir kering dan minim turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa (padang rumput) yang muncul di sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan badui Arab untuk kebutuhan makan binatang ternak seperti kuda, onta dan domba.
Berbeda halnya dengan penduduk Arab perkotaan terutama penduduk pesisir, pertanian, peternakan dan perdangangan, dapat berkembang dengan baik di daerah tersebut. Hal inilah tentunya yang membuat kehidupan masyarakat pesisir lebih makmur daripada masyarakat pedalaman (badui). Dari realitas ini, maka timbullah reaksi antara penduduk kota atau pesisir dengan penduduk pedalaman atau badui.
Aksi dan reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun dimotivasi oleh desakan kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Orang-orang nomad bersikeras mendapatkan sumber-sumber tertentu pada orang-orang kota terhadap apa yang tidak mereka miliki dari lingkungan mereka tinggal. Hal itu dilakukan baik melalui kekerasan (penyerbuan kilat) atau jalan damai (barter). Orang-orang badui nomaden dikenal sebagai perampok darat dan makelar. Gurun pasir, yang merupakan daerah operasi mereka sebagai perampok, memiliki kesamaan karakteristik dengan laut.[4]
Masyarakat, baik nomaden maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (trible) dan dipimpin oleh Syekh.[5] Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.[6]
Wanita kurang mendapat tempat yang layak dalam masyarakat. Bahkan tidak jarang apabila mereka melahirkan anak perempuan, mereka merasa malu dan hina, kemudian mereka kuburkan hidup-hidup, seperti yang dinyatakan dalam ayat Al-qur'an surat An-Nahl Ayat 58-59: artinya: dan apabila salah seorang diantara mereka dikabarkan dengan kelahiran anak perempuan, lalu merah pada mukanya, sedang ia berduka cita. Ia menyembunyikan diri dari kaumnya, karena kejelekan berita tersebut, apakah anak perempuan tersebut terus dipelihara dengan menanggung hina atau dikubur hidup-hidup ke dalam tanah.
Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti :
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita pelacur.
3. Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali jika menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
4.  Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah ialah poligami tanpa ada batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya.[7]
Maka tidak heran, jika peperangan antar suku menjadi ciri khas masyarakat ini. Rendahnya harga wanita seakan-akan menjadi akibat dari keadaan masyarakat yang suka berperang tersebut.
Akibat tradisi peperangan ini, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra Islam langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Shalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.[8] Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para pe-rawi syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Arab dapat diketahui, yang antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk badui adalah penyair.[9]
Lain halnya dengan penduduk kota yang memiliki kemajuan peradaban, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Mereka telah mampu berkarya seperti membuat alat-alat dari besi, bahkan sampai mendirikan kerajaan-kerajaan. Sampai pada lahirnya Nabi Muhammad, daerah-daerah tersebut masih merupakan kota-kota perniagaan, sebagaimana diketahui bahwa daerah tersebut merupakan jalur perdagangan antara Eropa dan Asia. Sebagaimana masyarakat badui, penduduk daerah ini juga mahir bersyair. Biasanya, syair-syair dibacakan di pasar-pasar, semacam pagelaran pembacaan syair, seperti yang terjadi di pasar ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa dan kiasan.[10]
Ketahuilah amat kejam hukuman yang mereka lakukan. Dengan demikian, akhlak masyarakat telah merosot sekali, sehingga sering berlaku hukum rimba yakni siapa yang perkasa ialah yang berkuasa, siapa yang bodoh diperas oleh yang pandai, siapa yang miskin dihisap oleh yang kaya. Masa inilah yang disebut dengan masa Jahiliyah.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas.[11]
Jahiliyah (bahasa Arab: جاهلية, jahiliyyah) adalah konsep dalam agama Islam yang berarti "ketidaktahuan akan petunjuk ilahi" atau "kondisi ketidaktahuan akan petunjuk dari Tuhan" atau masa kebodohan (Qutb, Sayyid (1981). Milestones. The Mother Mosque Foundation. p.11, 19) keadaan tersebut merujuk pada situasi bangsa Arab sendiri, yaitu pada masa masyarakat Arab pra Islam sebelum diturunkannya al-Qur'an. Pengertian khusus kata Jahiliyah ialah keadaan seseorang yang tidak memperoleh bimbingan dari Islam dan al-Qur'an. 

D.  KONDISI EKONOMI BANGSA ARAB
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan.[12]
Perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga.
Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka mengamankan jalur perdagangan ini.
Di lain sisi, Mekkah dimana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan agama, telah menjadi jalur perdagangan internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya.[13] Keberhasilan sistem ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh sukses besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.[14]

E. KONDISI POLITIK BANGSA  ARAB
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.[15]
Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis. Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya.[16] Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dan Ethiopia.
Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.[17]
Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Syekh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Syekh  dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih memiliki hubungan famili. Fungsi pemerintahan Syekh ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) daripada memberi komando. Syekh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.[18]

F. AGAMA BANGSA ARAB PRA-ISLAM
Faktor alam merupakan satu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan beragama pada suatu bangsa. Hal itu dapat dibuktikan oleh penyelidik-penyelidik ilmiah yang menunjukkan bahwa Jazirah Arab dahulunya subur dan makmur. Karena faktor alam itu pula boleh jadi rasa keagamaan telah timbul pada bangsa Arab semenjak lama. Semangat keagamaan yang amat kuat pada bangsa Arab itulah yang menjadi dorongan mereka untuk melawan dan memerangi agama Islam di saat Islam datang. Mereka memerangi agama Islam karena mereka amat kuat berpegang dengan agama mereka yang lama yaitu kepercayaan yang telah mendarah daging pada jiwa mereka. Andai kata mereka acuh tak acuh dengan agama, tentu mereka membiarkan agama Islam berkembang, tetapi kenyataannya tidak demikian. Agama Islam mereka perangi mati-matian sampai mereka kalah.
Sampai saat ini pun bangsa Arab, baik dia seorang ulama atau tidak, terhadap agamanya mereka sangat bersemangat. Agama itu disiarkan serta dibela dengan sekuat tenaganya. Semangat beragama mereka umumnya bersifat kulitnya saja. Adapun ibadah dan praktik-praktik keagamaan sering ditinggalkan oleh Arab Badui. Watak mereka yang amat mencintai hidup bebas dari keterikatan menjadi sebab mereka ingin bebas dari aturan agama. Mereka sudah lama merasa bosan dan kesal terhadap agamanya karena dianggap sebagai pengikat kemerdekaannya sehingga selalu menyelewengkan agama mereka sendiri.
Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Paganisme adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: sanam, wathan, nusub, dan hubal.
Sanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nusub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri.[19] Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.[20]
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka menolak, maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh dengan pedang atau dilukai sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit” (Ashab al-Ukhdud).[21]
Sedangkan Agama Kristen di jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang tampak hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen. Menurut Muhammad ‘Abid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Nasara” bukan “al-Masihiyah” dan “al-Masihi” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Nasara” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Hawariyun”. Kristen menyebar ke berbagai penjuru, termasuk jazirah Arab dan sekitarnya.[22]
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Hanifiyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Hanifiyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke berbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Taif, dan Mekah.[23]





 BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari paparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa:
1.    Bangsa Arab maupun Israel termasuk dalam rumpun bangsa Semit atau Samyah. Nabi Ibrahim dianggap sebagai cikal bakal dari rumpun bangsa itu yang diduga berasal dari Babilonia.
2.    Sistem kekerabatan masyarakat Arab mengikuti garis bapak (patrilinial) dalam memperhitungkan keturunan, sehingga setiap nama anak dibelakangnya selalu disebutkan nama bapak.
3.    Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup.
4.    Perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian.
5.    Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Syekh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota.
6.    Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam.

Masa Jahiliyah bukan berarti masa dimana Bangsa Arab yang belum mengetahui apapun. Namun masa ketika kemajuan peradaban Bangsa Arab tanpa disertai kemajuan moralnya. Jadi, Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas.



DAFTAR PUSTAKA

Al Qu’ran
Mufrrodi Ali. 2007. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. (Jakarta: Logos)
Ahmad. 1978. Sejarah Islam. (Jakarta: Gramedia)  
K. Hitti Philip.  2010. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi. ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta)
R.A Nicholson. 1997. A Literary History of The Arabs. (Cambridge: Cambridge University Press).
Badri Yatim. 2010. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Press)
Shalabi A.. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief , (Jakarta: Pustaka Al-Husna)
Leboun Gustav. TT. Hadarat al-‘Arab, (Kairo: Matba‘ah ‘Isa al-Babi  al-Halabi)
 A. Mughni Syafiq. 2002.Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve)
Mujahidin Ahmad, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”,  (Jurnal Akademika,  Maret 2003)
Lewis Bernard. 1994. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri, (Jakarta: Ilmu Jaya)
Husain Muhammad. 2011 Sejarah Hidup Muhammad,  terj. Ali Audah,  (Jakarta: Litera Antar Nusa)
al-A‘zamī. 2005. Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani)
Karim Khalil. 2003. Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, (Yogyakarta: LkiS)


[1]https://www.academia.edu/9116796/MAKALAH_SEJARAH_PERADABAN_ISLAM_KEKEKEA_BANGSA_ARAB_SEBELUM_ISLAM, diunduh pada 2 maret 2016.
[2] Ali Mufrrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997),  hlm.. 5, Ras lain ialah Mongoloid, Negroid dan ras-ras khusus.
[3] Dr. ahmad., Sejarah Islam , (Jakarta: Gramedia, 1978),  hlm. 5.
[4] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm. 28.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2010),  hlm. 11.
[8] A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief , (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), hlm. 29.
[9] Gustav Leboun, Hadarat al-‘Arab, Kairo: Matba‘ah ‘Isa al-Babi  al-Halabi, hlm. 72.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hal. 12.
[12] Syafiq A. Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 15.
[13] Ahmad Mujahidin, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”,  (Jurnal Akademika,  Maret 2003), Volume 12, Nomor 2, hlm. 12-13.
[14] Ibid., hlm. 13.                                    
[15]Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tarīkh adr al-Islam, (Beirut: Markaz Dirāsah al-Wadah al-‘Arabīyah, 2007),  hlm. 41.
[16] R.A Nicholson, A Literary History of The Arabs, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 83.
[18] Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri, (Jakarta: Ilmu Jaya, 1994),  hlm. 10.
[19] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,  terj. Ali Audah,  (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2011), hlm. 19-20.
[20] M.M. al-Azamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani, 2005) hlm. 23.
[21] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hal. 10-11. Lihat: Al-Qur-an, 85 (al-Buruj): 4-6.
[22] Muhammad Abid Al-Jābirī. Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm, (Beirut: Markaz Dirāsah al-Wadah al-‘Arabīyah, 2007), hlm. 38-46.
[23] Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 15-16.