BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lazimnya
pembahasan tentang sejarah peradaban sejarah dan kebudayaan islam oleh
ahli-ahli sejarah barat maupun timur diawali dengan uraian tentang sejarah
bangsa arab sebelum Islam. Hal ini memang terasa relevan, mengingat negeri dan
bangsa arab adalah yang pertama kali mengenal dan menerima islam. Suatu fakta
bahwa agama islam diturunkan di jazirah arab; karena itu sudah tentu bangsa
arablah yang pertama kali mendengar dan menghayati dan mengenal islam.
Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazirah
Arab, disebut masa jahiliyyah. Julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh
terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang
hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada
umumnya hidup berkabilah. Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan.
Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut, mengakibatkan
mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak
dengan dalih kemuliaan, memusnahkan kekayaan dengan perjudian, membangkitkan
peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus
berlangsung hingga datang Islam di tengah-tengah mereka.[1]
Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab
pada waktu itu sama sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum
lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan
ekonomi. Makkah misalnya pada waktu itu merupakan kota dagang
bertaraf internasional. Hal ini
diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di
persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman
ke Syiria.
Rentetan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal yang
penting untuk dikaji karena tidak ada satu pun peristiwa di dunia yang terlepas
dari peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lain
terdapat hubungan yang erat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan
Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa asal usul bangsa
Arab?
2. Apa sistem
kekerabatan bangsa Arab?
3. Bagaimana kondisi
sosial dan budaya Arab?
4.
Bagaimana kondisi ekonomi bangsa Arab?
5.
Bagaimana kondisi politik bangsa Arab?
6.
Bagaimana sistem kepercayaan yang dianut bangsa arab pra-islam?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui asal usul bangsa Arab.
2.
Mengetahui sistem Kekerabatan bangsa Arab.
3. Mengkaji
kondisi social dan budaya Arab.
4. Mengkaji kondisi ekonomi bangsa Arab.
5. Mengkaji kondisi politik bangsa Arab.
6. Mengkaji sistem kepercayaan yang dianut
bangsa Arab pra-islam.
D. BATASAN MASALAH
Makalah ini mengkaji asal usul, system
kekerabatan, kondisi social dan budaya, kondisi ekonomi, kondisi politik, dan
system kepercayaan bangsa Arab pra- islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul
Bangsa Arab
Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam
sejarah. Mereka termasuk ras atau rumpun bangsa kaukasoid, sebagaimana ras-ras
yang mendiami daerah Mediteranian, Nordic, Alpine dan Indic.[2]
Secara
Etimologis kata Arab berasal dari kata ‘Araba artinya yang berani bergoyang
atau mudah berguncang. Bangsa Arab maupun Israel termasuk dalam rumpun bangsa
Semit atau Samyah. Nabi Ibrahim dianggap sebagai cikal bakal dari rumpun bangsa
itu yang diduga berasal dari Babilonia. Secara fisik bangsa Arab tidak
menunjukkan bentuk yang tunggal, karena terdapat variasi yang berkatan dengan
lokasi. Di Arab Utara fisik mereka mirip dengan orang Eropa, yang memiliki
rambut agak kemerah-merahan, agak bergelombang, dan warna kulit agak cerah. Di
Arab Tengah fisik mereka agak tambun, warna kulit cerah, rambut bergelombang
denga warna hitam. Sedangkan Arab Selatan memilki bentuk hidung mancung dan
melengkung, bagai patuk burung elang. Bentuk pipi menonjol, mata tajam agak
terlindung tulang dahi. Rambut hitam dan bergelombang dengan warna kulit agak
kelam. Perkembangan bangsa Arab terbagi kepada dua kelompok besar, yaitu:[3]
1. Arab Ba'idah,
yaitu kelompok yang telah punah sejarah mereka telah terhenti bersama dengan
punahnya mereka dipermukaan bumi, seperti bangsa Ad dan Tsamud.
2. Arab
Musta'rabah (Arab Campuran), yaitu keturunan suku Ad-nan yang umumnya mereka
tinggal di hijaz. Mereka adalah keturunan nabi Ismail as.
B. Sistem Kekerabatan Arab
Sistem
kekerabatan masyarakat Arab mengikuti garis bapak (patrilinial) dalam
memperhitungkan keturunan, sehingga setiap nama anak dibelakangnya selalu
disebutkan nama bapak. Bahkan secara beruntun nama bapak-bapak mereka
dicantumkan dibelakang nama mereka dan dikaitkan dengan status dalam
keluarga , yaitu bin yang berasal dari kata ibnu yang berarti
anak laki-laki. Bagi anak perempuan tentu saja disebut binti, yang
berarti anak perempuan. Orang-orang Arab sangat bangga dengan rentetan
nama-nama dibelakang nama mereka. Dalam sebuah kabilah atau suku bangsa
mereka terikat oleh bapak moyang mereka yang sangat dihormati. Sekelompok orang
yang berada dalam satu garis keturunan dengan moyang yang sama biasa disebut
sebagai satu keluarga besar dengan sebutan Bani (anak keturunan),
keluarga atau dinasti tertentu. Dalam seorang patriar atau seorang bapak utama
atau perimus interpares, dengan julukan syekh.
C. Kondisi
Sosial dan Budaya Arab
Bangsa Arab hidup berpindah-pindah (nomaden). Demikian ini karena
kondisi tanah tempat mereka hidup terdiri dari gurun pasir kering dan minim turun
hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa
(padang rumput) yang muncul di sekitar oasis atau genangan air setelah
turun hujan. Padang rumput diperlukan badui Arab untuk kebutuhan makan binatang
ternak seperti kuda, onta dan domba.
Berbeda halnya dengan penduduk Arab perkotaan
terutama penduduk pesisir, pertanian, peternakan dan perdangangan, dapat
berkembang dengan baik di daerah tersebut. Hal inilah tentunya yang membuat
kehidupan masyarakat pesisir lebih makmur daripada masyarakat pedalaman (badui).
Dari realitas ini, maka timbullah reaksi antara penduduk kota atau pesisir
dengan penduduk pedalaman atau badui.
Aksi dan reaksi antara penduduk kota dengan
masyarakat gurun dimotivasi oleh desakan kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
Orang-orang nomad bersikeras mendapatkan sumber-sumber tertentu pada
orang-orang kota terhadap apa yang tidak mereka miliki dari lingkungan mereka
tinggal. Hal itu dilakukan baik melalui kekerasan (penyerbuan kilat) atau jalan
damai (barter). Orang-orang badui nomaden dikenal sebagai perampok darat dan
makelar. Gurun pasir, yang merupakan daerah operasi mereka sebagai perampok,
memiliki kesamaan karakteristik dengan laut.[4]
Masyarakat, baik nomaden maupun yang menetap, hidup
dalam budaya kesukuan. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan
dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk
kabilah (clan). Beberapa kelompok
kabilah membentuk suku (trible) dan
dipimpin oleh Syekh.[5]
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya.
Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan
waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka
berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep
kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya,
dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa
dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula
rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang
lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa
kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan
sama-sekali.[6]
Wanita
kurang mendapat tempat yang layak dalam masyarakat. Bahkan tidak jarang apabila
mereka melahirkan anak perempuan, mereka merasa malu dan hina, kemudian mereka
kuburkan hidup-hidup, seperti yang dinyatakan dalam ayat Al-qur'an surat
An-Nahl Ayat 58-59: artinya: dan apabila salah seorang diantara mereka
dikabarkan dengan kelahiran anak perempuan, lalu merah pada mukanya, sedang ia
berduka cita. Ia menyembunyikan diri dari kaumnya, karena kejelekan berita
tersebut, apakah anak perempuan tersebut terus dipelihara dengan menanggung
hina atau dikubur hidup-hidup ke dalam tanah.
Para
wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih
dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur
dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan
poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu,
perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak
hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti :
1.
Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki
lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan
mas kawin seketika itu pula.
2.
Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita
pelacur.
3.
Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada
laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami
mengambil istrinya kembali jika menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran
seorang anak yang pintar dan baik.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai
medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang
kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak
lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar
kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah
ialah poligami tanpa ada batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang
dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai
atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki tanpa
ada batasannya.[7]
Maka tidak heran, jika peperangan antar suku
menjadi ciri khas masyarakat ini. Rendahnya harga wanita seakan-akan menjadi
akibat dari keadaan masyarakat yang suka berperang tersebut.
Akibat tradisi peperangan ini, kebudayaan
mereka tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra Islam langka
didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Shalabi menyebutkan,
sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang
lahirnya agama Islam.[8]
Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para pe-rawi syair. Dengan begitulah sejarah dan
sifat masyarakat Arab dapat diketahui, yang antara lain bersemangat tinggi
dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai
masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak
pernah berubah itu, masyarakat badui pada dasarnya tetap berada dalam
fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari bangsa-bangsa lain.
Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa
yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan
bangsa lain, hampir seluruh penduduk badui adalah penyair.[9]
Lain halnya dengan penduduk kota yang
memiliki kemajuan peradaban, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka
selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan situasi dan kondisi yang
melingkupinya. Mereka telah mampu berkarya seperti membuat alat-alat dari besi,
bahkan sampai mendirikan kerajaan-kerajaan. Sampai pada lahirnya Nabi Muhammad,
daerah-daerah tersebut masih merupakan kota-kota perniagaan, sebagaimana
diketahui bahwa daerah tersebut merupakan jalur perdagangan antara Eropa dan
Asia. Sebagaimana masyarakat badui, penduduk daerah ini juga mahir bersyair.
Biasanya, syair-syair dibacakan di pasar-pasar, semacam pagelaran pembacaan
syair, seperti yang terjadi di pasar ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan,
tata bahasa dan kiasan.[10]
Ketahuilah amat kejam hukuman yang mereka
lakukan. Dengan demikian, akhlak masyarakat telah merosot sekali, sehingga
sering berlaku hukum rimba yakni siapa yang perkasa ialah yang berkuasa, siapa
yang bodoh diperas oleh yang pandai, siapa yang miskin dihisap oleh yang kaya.
Masa inilah yang disebut dengan masa Jahiliyah.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian
Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang
kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah
masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid
yang menyebabkan minimnya moralitas.[11]
Jahiliyah
(bahasa Arab: جاهلية, jahiliyyah)
adalah konsep dalam agama Islam yang berarti "ketidaktahuan akan petunjuk
ilahi" atau "kondisi ketidaktahuan akan petunjuk dari Tuhan"
atau masa kebodohan (Qutb, Sayyid (1981). Milestones. The Mother Mosque
Foundation. p.11, 19) keadaan tersebut merujuk pada situasi bangsa Arab
sendiri, yaitu pada masa masyarakat Arab pra Islam sebelum diturunkannya
al-Qur'an. Pengertian khusus kata Jahiliyah ialah keadaan seseorang yang tidak
memperoleh bimbingan dari Islam dan al-Qur'an.
D. KONDISI EKONOMI
BANGSA ARAB
Perdagangan
merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Mereka
telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga
dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara
lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya
kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman
pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia,
Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa,
kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur.
Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia
adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan.[12]
Perekonomian
orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan daripada
peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang
tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk
bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga.
Data ini
menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat
penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka
mengamankan jalur perdagangan ini.
Di lain sisi,
Mekkah dimana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan agama,
telah menjadi jalur perdagangan internasional. Hal ini diuntungkan oleh
posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang
menghubungkan jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari
Abysinia ke Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal
di samping juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka
para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan
segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin
keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan
oleh suku-suku yang ada di sekitarnya.[13]
Keberhasilan sistem ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang pada
gilirannya menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan posisi
Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional,
komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti
emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain.
Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para
pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh sukses besar, sehingga mereka menjadi
pengusaha di berbagai bidang bisnis.[14]
E. KONDISI POLITIK BANGSA ARAB
Sebagaimana
telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang
dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan
kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah
Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang
merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan
serta adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka
hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke
sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak
mengenal konsep negara.[15]
Sementara
menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra
Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis. Sehingga pemimpin
tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya.[16]
Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini
tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara
pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah,
Hirah, Suriah, dan Ethiopia.
Kadang
persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan
paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang
banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan
keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka
mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada
dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi
penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair
itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.[17]
Model
organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah).
Kepala sukunya disebut Syekh, yakni
seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Syekh dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota
yang masih memiliki hubungan famili. Fungsi pemerintahan Syekh ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) daripada
memberi komando. Syekh tidak
berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan
hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya melekat pada warga suku secara
individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.[18]
F. AGAMA
BANGSA ARAB PRA-ISLAM
Faktor alam
merupakan satu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan beragama pada suatu
bangsa. Hal itu dapat dibuktikan oleh penyelidik-penyelidik ilmiah yang
menunjukkan bahwa Jazirah Arab dahulunya subur dan makmur. Karena faktor alam
itu pula boleh jadi rasa keagamaan telah timbul pada bangsa Arab semenjak lama.
Semangat keagamaan yang amat kuat pada bangsa Arab itulah yang menjadi dorongan
mereka untuk melawan dan memerangi agama Islam di saat Islam datang. Mereka
memerangi agama Islam karena mereka amat kuat berpegang dengan agama mereka
yang lama yaitu kepercayaan yang telah mendarah daging pada jiwa mereka. Andai kata mereka acuh tak acuh dengan agama, tentu
mereka membiarkan agama Islam berkembang, tetapi kenyataannya tidak demikian.
Agama Islam mereka perangi mati-matian sampai mereka kalah.
Sampai saat
ini pun bangsa Arab, baik dia seorang ulama atau tidak, terhadap agamanya
mereka sangat bersemangat. Agama itu disiarkan serta dibela dengan sekuat
tenaganya. Semangat beragama mereka umumnya bersifat kulitnya saja. Adapun
ibadah dan praktik-praktik keagamaan sering ditinggalkan oleh Arab Badui. Watak
mereka yang amat mencintai hidup bebas dari keterikatan menjadi sebab mereka
ingin bebas dari aturan agama. Mereka sudah lama merasa bosan dan kesal
terhadap agamanya karena dianggap sebagai pengikat kemerdekaannya sehingga
selalu menyelewengkan agama mereka sendiri.
Penduduk Arab
menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen
merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Paganisme adalah agama mayoritas mereka. Ratusan
berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada
empat sebutan bagi berhala-hala itu: sanam, wathan, nusub, dan hubal.
Sanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau
kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nusub adalah batu karang
tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia yang dibuat dari
batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah
di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah
datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya
sendiri-sendiri.[19] Ini
membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak
berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa
kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di
Syiria dan Mesir.[20]
Agama Yahudi
dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data
sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū
Nuwās merupakan penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai
penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran
agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka menolak, maka akan dibunuh.
Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api
di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh dengan pedang
atau dilukai sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban
pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif
fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang
membuat parit” (Ashab al-Ukhdud).[21]
Sedangkan
Agama Kristen di jazirah Arab
dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang
mengerikan semacam itu. Yang tampak hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte
Kristen. Menurut Muhammad ‘Abid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Nasara” bukan “al-Masihiyah” dan “al-Masihi”
bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan
Evangelis) istilah “Nasara” adalah
sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Hawariyun”. Kristen menyebar ke berbagai penjuru, termasuk jazirah Arab dan sekitarnya.[22]
Salah satu
corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Hanifiyah, yaitu sekelompok orang yang
mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu
penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen,
tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di
sisi Allah adalah Hanifiyah, sebagai
aktualisasi dari millah Ibrahim.
Gerakan ini menyebar luas ke berbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga
wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Taif, dan Mekah.[23]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari paparan diatas,
dapat kita simpulkan bahwa:
1.
Bangsa Arab
maupun Israel termasuk dalam rumpun bangsa Semit atau Samyah. Nabi Ibrahim
dianggap sebagai cikal bakal dari rumpun bangsa itu yang diduga berasal dari
Babilonia.
2.
Sistem
kekerabatan masyarakat Arab mengikuti garis bapak (patrilinial) dalam
memperhitungkan keturunan, sehingga setiap nama anak dibelakangnya selalu
disebutkan nama bapak.
3.
Sebelum Islam datang, bangsa
Arab telah menganut berbagai adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan
hidup.
4.
Perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat
bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian.
5.
Model organisasi politik bangsa Arab lebih
didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Syekh, yakni seorang pemimpin yang
dipilih antara sesama anggota.
6.
Penduduk Arab menganut agama yang
bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama
orang Arab pra Islam.
Masa
Jahiliyah bukan berarti masa dimana Bangsa Arab yang belum mengetahui apapun.
Namun masa ketika kemajuan peradaban Bangsa Arab tanpa disertai kemajuan
moralnya. Jadi, Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal
agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qu’ran
Mufrrodi Ali. 2007. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. (Jakarta: Logos)
Ahmad. 1978. Sejarah
Islam. (Jakarta:
Gramedia)
K. Hitti Philip. 2010. History of The Arabs, terj.
R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi. ( Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta)
R.A Nicholson. 1997. A Literary History of The
Arabs. (Cambridge:
Cambridge University Press).
Badri
Yatim. 2010. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta:
Rajawali Press)
Shalabi A.. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M.
Sanusi Latief , (Jakarta:
Pustaka Al-Husna)
Leboun Gustav. TT. Hadarat al-‘Arab, (Kairo:
Matba‘ah ‘Isa al-Babi al-Halabi)
A. Mughni Syafiq. 2002. “Masyarakat
Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, I, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve)
Mujahidin Ahmad, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan
Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”, (Jurnal Akademika, Maret 2003)
Lewis Bernard. 1994. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya
dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri, (Jakarta: Ilmu Jaya)
Husain Muhammad. 2011 Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta: Litera Antar Nusa)
al-A‘zamī. 2005. Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani)
Karim Khalil. 2003. Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan,
(Yogyakarta: LkiS)
[1]https://www.academia.edu/9116796/MAKALAH_SEJARAH_PERADABAN_ISLAM_KEKEKEA_BANGSA_ARAB_SEBELUM_ISLAM, diunduh pada 2 maret 2016.
[2] Ali
Mufrrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan
Arab, (Jakarta:
Logos, 1997), hlm.. 5, Ras lain ialah Mongoloid, Negroid dan
ras-ras khusus.
[4] Philip K.
Hitti, History of The Arabs, terj. R Cecep
Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm.
28.
[6] http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/masa-nabi-muhammad-saw-pada-periode.html, diunduh 3 Maret 2016.
[8] A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I,
terj. M. Sanusi Latief , (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), hlm. 29.
[11] http://hitsuke.blogspot.com/2009/05/masa-nabi-muhammad-saw-pada-periode.html, diunduh 3 Maret 2016.
[12] Syafiq A.
Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 15.
[13] Ahmad
Mujahidin, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan
Negara-Negara Sekitarnya”, (Jurnal Akademika, Maret 2003), Volume 12, Nomor 2, hlm. 12-13.
[15] ‘Abd
al-‘Azīz
al-Dawrī,
Muqaddimah fī Tarīkh Ṣadr
al-Islam, (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah
al-‘Arabīyah, 2007), hlm. 41.
[16] R.A
Nicholson, A Literary History of The
Arabs, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997),
hlm.
83.
[18] Bernard
Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah
dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri, (Jakarta: Ilmu Jaya, 1994), hlm. 10.
[19] Muhammad
Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj.
Ali Audah, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2011), hlm.
19-20.
[20] M.M. al-A‘zamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani, 2005) hlm. 23.
[21] Muhammad
Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,
hal.
10-11. Lihat: Al-Qur-an,
85 (al-Buruj): 4-6.
[22] Muhammad ‘Abid Al-Jābirī. Madkhal ila al-Qur`ān
al-Karīm, (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah
al-‘Arabīyah,
2007), hlm. 38-46.
[23] Khalil
Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah,
Perkelahian, Pemaknaan, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 15-16.